Minggu, 20 Maret 2011

OSEANOGRAFI FISIKA

Pengaruh Cahaya Matahari pada Produksi di Laut

Cahaya matahari merupakan energi penggerak utama bagi seluruh ekosistem termasuk di dalamnya ekosistem perairan. Cahaya matahari menghasilkan panas sebesar 1026 Kalori/detik, namun hanya sebagian kecil dari panas tersebut yang mampu diserap dan masuk ekosistem perairan.

Fungsi ekosistem yang optimal harus ditunjang oleh adanya cahaya matahari. Ekosistem yang baik harus mampu mendukung kehidupan di dalamnya. Salah satu ukuran kualitas suatu ekosistem adalah terselenggaranya proses produksi atau produktivitas primer yang mempersyaratkan adanya cahaya untuk keberlangsungannya. Semakin tinggi nilai produktivitasnya maka semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya.

Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produser.
      Produser adalah organisme autotrop yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Produser utama pada ekosistem perairan adalah fitoplankton. Sebagai organisme autotrop, fitoplankton berperan sebagai produser primer yang mampu mentransfer energi cahaya menjadi energi kimia berupa bahan organik pada selnya yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain pada tingkat tropis diatasnya.

Pada tahapan awal aliran energi, cahaya matahari “ditangkap” oleh tumbuhan hijau yang merupakan produser primer bagi ekosistem perairan. Energi yang ditangkap digunakan untuk melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan nutrien yang ada di lingkungannya. Melalui pigmen-pigmen yang ada fitoplankton melakukan proses fotosintesis. Pigmen-pigmen ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam melakukan penyerapan energi cahaya matahari. Proses fotosintesis hanya dapat berlangsung bila pigmen fotosintesis menerima intensitas cahaya tertentu yang memenuhi syarat untuk terjadinya proses tersebut.

“Govindjee dan Braun (1974) menyatakan bahwa aksi pertama pada proses fotosintesis adalah mengabsorpsi cahaya.”

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan di bawah nilai optimum merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman di mana cahaya tidak dapat menembus lagi. (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson dkk.,1984; Neale, 1987).

Di laut terjadi transfer energi antar organisme pada tingkatan tropis yang berbeda dengan demikian terjadi proses produksi. Hirarki proses produksi membentuk sebuah rantai yang dikenal dengan rantai makanan. Ada dua kelompok rantai makanan yang ada di ekosistem laut yaitu rantai makanan grazing (grazing food chain) dan rantai makanan detrital (detritus food chain). Kedua jenis rantai makanan tersebut saling melengkapi dan membentuk sebuah siklus yang kontinus.

Proses Produksi di Laut

Aksi pertama pada proses fotosintesis adalah mengabsorpsi cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tanaman yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400 sampai 720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk fotosintesis (Govindjee dan Braun 1974; Nybakken, 1988).

Menurut Parsons dkk (1984) energi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis fitoplankton terbatas pada panjang gelombang 300 – 720 nm. Radiasi total pada panjang gelombang ini disebut photosynthetically available radiation (PAR atau PhAR). Definisi ini tidak memperhitungkan berapa energi cahaya yang benar-benar digunakan pada proses fotosintesis. 

Mempertimbangkan hal tersebut maka Marel (1979) dalam Parson dkk.(1984) mengusulkan dua definisi tambahan tentang radiasi :
-      Photosynthetically usable radiation (PUR) didefinisikan sebagai bagian energi radiasi yang secara aktual diabsorpsi oleh fitoplankton. PUR seluruhnya bergantung kepada komposisi pigmen dari populasi fitoplankton dan pada posisi spektral energi matahari yang menembus kolom air. Hanya bagian PUR ini yang benar-benar digunakan dalam proses fotosintesis dan bagian ini didefinisikan sebagai jumlah radiasi matahari yang dikonversi ke dalam dan disimpan sebagai energi kimiawi dalam bentuk bahan organik (photosyntetic stored radiation/PSR). Secara relatif ada hubungan yang jelas antara ketiga nilai ini yaitu : PSR < PUR < PAR

Untuk melakukan penyerapan terhadap cahaya, alga mengembangkan berbagai macam pigmen. Setiap pigmen memiliki tingkat absorpsi yang berbeda terhadap spektrum warna cahaya. Govindjee dan Braun (1974) mengklasifikasikan pigmenpigmen ini dalam tiga kelompok utama :
(1) Chlorophylls (Chl) yang dengan kuat mengabsorpsi cahaya biru dan merah, contohnya adalah Chl a (terdapat pada seluruh alga) dan Chl b (terdapat pada alga hijau).
(2) Carotenoids yang mengabsorpsi cahaya hijau dan biru, contohnya adalah carotene (terdapat pada seluruh alga) dan fucoxanthin (terdapat pada alga coklat).
(3) Phycobilins yang mengabsorpsi cahaya hijau, kuning, dan orange, contoh R-phycoerythrin (terdapat pada alga merah) dan C-phycocyanin (terdapat pada alga biru-hijau). Pigmen-pigmen tersebut merupakan antena bagi alga untuk menangkap energi cahaya. Fitoplankton memilki jenis dan susunan pigmen yang berbeda pada tiap jenisnya.

Absorpsi maksimal oleh klorofil a terjadi dalam dua berkas panjang gelombang, yang puncaknya pada sekitar 430 dan 660 nm. Pigmen asesori memiliki absorpsi maksimal pada panjang gelombang yang berbeda: klorofil b, yang terjadi pada Chlorophyta, puncaknya pada sekitar 450 dan 645 nm; carotene (pigmen utama pada sebagian besar alga air tawar), memuncak pada kisaran 450-470 nm; xantophyl yang secara luas tersebar di antara kelompok alga, puncaknya antara 480 dan 560 nm; phycobilins, seperti phycoerythrine mengabsopsi pada 540-560 nm dan phycocyanins, 610–630 nm (terdapat pada Rhodophyta, Cryptomonads dan pada Cyanobacteria)(Reynold, 1990).

Sumber :
Romimohtarto, Kasijan dan sri Juwana. 2005. Biologi Laut. Jakarta : Djambatan 

-